1. Discovery Learning (Jerome Bruner)
Satu model pembelajaran kognitif yang sangat berpengaruh adalah Discovery Learning yang dikemukakan oleh Jerome Bruner. Menurutnya peran guru adalah menciptakan situasi belajar sedemikian rupa agar siswa dapat belajar berdasar apa yang mereka miliki, bukan memberikan paket informasi.
Bruner mengatakan bahwa mengajar bukan untuk menghasilkan perpustakaan hidup, tapi memberikan kesempatan pada siswa untuk berfikir, yang akan berguna bagi pengembangan diri. Untuk mendapatkan pengetahuan siswa harus dapat berperan sebagai sejarawan, yaitu mengambil bagian dalam proses mendapatkan pengetahuan, karena menurut Bruner pengetahuan adalah suatu proses dan bukan suatu produk.
Bruner mengusulkan seharusnya siswa belajar dengan terlibat secara aktif dengan konsep-konsep atau prinsip-prinsip, dimana mereka harus didorong untuk memiliki pengalaman-pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen yang memungkinkan mereka menemukan sendiri konsep dan prinsip-prinsip tersebut.
Discovery learning terjadi apabila siswa dihadapkan pada situasi-situasi problem yang menuntut mereka untuk menemukan konsep-konsep esensial dari suatu pelajaran. Bruner menyarankan belajar melalui discovery karena discovery mendukung active learning. Menggunakan pendekatan active learning dalam mengajar berarti memberikan contoh atau problem dan kemudian meminta siswa untuk berfikir dan meneliti contoh-contoh atau problem-problem tersebut secara induktif dengan tujuan siswa dapat merumuskan satu prinsip umum.
Discovery learning banyak bisa diterapkan untuk kelompok sains. Misal: Siswa diminta mendorong masing-masing dari beberapa silinder yang berbeda besar dan beratnya, beberapa utuh dan beberapa berlubang pada jalan menurun. Melalui eksperimen semacam ini para siswa dapat menemukan prinsip-prinsip yang menentukan kecepatan lari silinder-silinder tersebut. Karena pendekatan ini dimulai dari hal yang spesifik menuju ke yang umum, maka ia memfasilitasi terjadinya penalaran secara induktif (berfikir sintesis).
Kondisi-kondisi apa saja yang dapat meningkatkan efektivitas discovery learning? (1) Siswa harus sudah memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk bisa menemukan suatu prinsip yang diajarkan. (2) Menyediakan model-model untuk menuntun discovery, (3) Penggunaan kontras untuk merangsang konflik kognitif.
Beberapa keuntungan pemakaian Discovery Learning:
a. Memunculkan rasa ingin tahu siswa
b. Memotivasi mereka terus bekerja sampai mereka memperoleh jawaban
c. Dapat mengajar keterampilan memecahkan masalah secara independen
d. Dapat “memaksa” siswa untuk menganalisa dan “memanipulasi” informasi dan bukan sekedar menyerap informasi tersebut.
Kerja Bruner berpengaruh terhadap gerakan sekolah terbuka dan
Pendekatan humanistik dalam pendidikan.
2. Events of Learning and Instruction (Robert Gagne)
Robert Gagne mengemukakan kondisi-kondisi yang harus dipenuhi
ketika belajar berlangsung, dan mengkaitkan kondisi-kondisi tersebut dengan peristiwa pengajaran, yaitu langkah-langkah dalam mentransmisi informasi. Formulasi Gagne menguraikan hubungan antara peristiwa belajar dan peristiwa pembelajaran.
1. Peristiwa-Peristiwa Belajar (Events of Learning).
Gagne menyebutkan bahwa kegiatan belajar melibatkan internal events, yang terjadi dalam fikiran siswa, dan external events, yang dapat dipengaruhi oleh guru, siswa, maupun karakteristik bahan pelajarannya. Kesemuanya meliputi delapan rangkaian peristiwa.
a. Motivation Phase
Siswa harus dimotivasi untuk belajar dengan menunjukkan harapan
bahwa belajar akan mendapat keuntungan atau mendapat rewards seperti memenuhi rasa ingin tahu, memiliki makna bagi siswa, atau membantu untuk mendapatkan nilai baik.
b. Apprehending Phase
Siswa harus memahami ciri-ciri esensial materi pelajaran ketika belajar
berlangsung. Ini berarti siswa harus memberikan atensi terhadap aspek-aspek yang relevan mengenai apa yang dikatakan guru atau tentang ide-ide utama dalam buku teks.
c. Acquisition Phase
Informasi yang diterima siswa tidak disimpan secara langsung dalam
memory, tapi terlebih dulu harus ditransformasikan kedalam bentuk yang berarti, yang berhubungan dengan informasi yang sudah ada dalam memory siswa. Siswa dapat membentuk mental image tentang informasi tersebut atau membentuk hubungan antara informasi tersebut dengan informasi lama yang sudah dimiliki siswa. Guru dapat mendorong proses ini dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk melihat atau memanipulasi obyek atau dengan menunjukkan hubungan antara informasi baru dengan pengetahuan sebelumnya (Ausubel: advance organizer).
d. Retention Phase
Informasi yang baru diperoleh siswa harus ditransfer dari short term
memory ke long term memory. Transfer ini dapat terjadi melalui cara rehearsal, latihan, elaborasi, atau cara lain.
e. Recall Phase
Kemungkinan yang dapat terjadi setelah belajar adalah bahwa kita
dapat kehilangan akses menuju informasi yang tersimpan dalam long term memory. Oleh karena itu merupakan bagian penting dalam belajar adalah usaha untuk mencapai akses ke bahan yang sudah kita pelajari agar kita dapat merecall informasi tersebut. Akses untuk mencapai informasi tersebut dibantu melalui pengorganisasian: pengelompokan berdasar kategori, atau konsep lebih mudah direcall daripada bahan yang disajikan secara acak.
f. Generalization Phase
Biasanya suatu informasi hanya memiliki nilai kecil kecuali kalau
informasi itu dapat diaplikasikan di luar kelas. Jadi generalisasi atau transfer informasi ke situasi-situasi baru merupakan fase kritis dalam belajar. Transfer dapat dibantu dengan mengharuskan siswa untuk menggunakan informasi ke dalam setting atau peristiwa-peristiwa baru, seperti menugaskan siswa menggunakan kemampuannya dalam pelajaran berhitung untuk memecahkan problem-problem yang nyata.
g. Performance Phase
Dalam performansinya siswa harus menunjukkan bahwa ia “memilki
kemampuan”. Misal para siswa yang baru saja mempelajari perkalian 7 dapat menunjukkan kemampuannya bahwa kalau ada tiga orang yang masing-masing memiliki 7 kelereng, maka keseluruhan kelereng akan berjumlah 21.
h. Feedback Phase
Siswa harus diberi feedback atas performansinya agar ia tahu apakah
ia telah faham atau belum atas informasi yang diberikan. Umpan balik ini dapat berperan sebagai reinforcer bagi performansi yang berhasil.
Contoh: Seorang siswa belajar memperbaiki mesin mobil dengan ditunjukkan oleh instrukturnya bagaimana memasang karburator. Setelah itu siswa diminta memasang sendiri karburator tersebut di mesin (fase performansi) dan kemudian mengecek apakah mesin mobil dapat dihidupkan (fase feedback). Jika mesin dapat dihidupkan ia akan terreinforced untuk perilaku belajarnya tersebut, sedangkan kalau mesin tidak dapat dihidupkan ia mendapatkan informasi yang bernilai untuk mengubah perilaku belajarnya, memasang kembali karburator, dan mencoba lagi.
.......bersambung......
Post By Catur anggraini, S.Psi
dikutip dari Psikologi Pendidikan ( Robert E. Slavin)
0 komentar :
Post a Comment